BAB I
PENDAHULUAN
Sistem khilafah ini
pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad
wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan
dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai
“Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya. Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah
khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu
prasasti Islam di Arabia.
Mengenai keunggulan dan
kekurangan dalam sistem kekhalifahan ini,
akan dibahas pada makalah yang sudah saya rintis ini. Pada makalah ini akan
dijelaskan tentang khilafah dan bagaimana eksistensi khilafah apabila
diterapkan diindonesia .
BAB II
KELEBIHAN DAN
KEKURANGAN SISTEM KHILAFAH
A.
Pengertian Khilafah
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan
atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua
rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[1] Oleh sebab itu, sudah
menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin
ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah ,
menurut Harun Nasution sistem hal ini ini menyerupai dengan sistem republik
daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam dipilih bukan merupakan sistem
monarkhi yang bersifat turun-temurun.[2]
Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam
yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul Saw. Dengan segala aspeknya yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin
tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang
sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan
Khalifatul Muslimin
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang
menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah
al-islamiyah) . Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam
perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara
Islam itu sendiri
Para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang
kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah
sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi
yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan
(as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian
lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (almazh-har ad-dini), yakni
institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar
bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan amalah (seperti
perdagangan), al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan
ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini.
Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak
menyepakati satu definisi untuk Khilafah.[3]
Khalifah dan khilafah
itu hanya terwujud bila :
1.
Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam
sedunia. Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan
jalan kudeta, sistem demokrasi atau kerajaan (warisan).
2.
Adanya wilayah yang menjadi tanah air (wathan) yang dikuasai penuh oleh
umat Islam.
3.
Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua
undang-undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang
bersumberkan dan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. seperti
undang-undang pidana, perdata, ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan
seterusnya.
4.
Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk
pada Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam).
5.
Sistem Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi
atau tanah air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula
berdasarkan kepentingan pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk
kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan serta tegaknya kalimat
Allah (Islam) di atas bumi. Oleh sebab itu, Imam Al-Mawardi menyebutkan dalam
bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah” bahwa objek Imamah (kepemimpinan umat Islam)
itu ialah untuk meneruskan Khilafah Nubuwwah (kepemimpinan Nabi Saw.) dalam
menjaga agama (Islam) dan mengatur semua urusan duniawi umat Islam.[4]
B.
Kelebihan Sistem Khilafah
Sistem politik Islam
merupakan sistem politik yang khas dan diyakini merupakan sistem politik yang
unggul. Hal ini terkait dengan Islam itu sendiri. “Islam itu unggul dan tidak
ada yang dapat mengunggulinya (Al Islâmu ya’lu-wa lâ yu’la ‘alaihi),” kata
Nabi.
Berbicara tentang sistem
politik berarti berbicara tentang proses, struktur, dan fungsi. Proses adalah
pola-pola yang mengatur hubungan antar manusia satu sama lain. Struktur
mencakup lembaga-lembaga formal dan informal seperti majelis umat, partai politik,
khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun fungsi dalam sistem politik
menyangkut pembuatan berbagai keputusan kebijakan yang mengikat alokasi nilai.
Keputusan kebijakan ini diarahkan pada tercapainya kepentingan masyarakat.
Proses, struktur, dan fungsi dalam sistem politik Islam semuanya berdasarkan
pada ajaran Islam yang bersumber dari wahyu. Karena itu, sistem politik Islam,
termasuk konsep kenegaraannya, menjadi sistem yang unggul karena bersumber dari
Allah Swt., Zat Yang Mahaagung.
Di antara keunggulan sistem pemerintahan
Islam (khilafah) adalah:
1.
Istiqamah.
Sistem politik Islam memiliki karakter istiqamah; artinya bersifat
langgeng, kontinu, dan lestari di jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi,
misalnya, sistem politik bergantung pada kehendak manusia. Perubahan nilai dan
inkonsistensi pun terjadi. Hal yang sama bisa berlaku untuk orang lain, tetapi
tidak untuk negara tertentu. Misalnya, Iran tidak boleh memiliki nuklir, tetapi
AS dan Israel tidak mengapa; setiap negara tidak boleh mencampuri urusan negara
lain, kecuali AS dan sekutunya yang dapat menerapkan pre emptive. Sistem
seperti ini tidaklah istiqamah. Betapa tidak; semuanya bergantung pada kehendak
dan tolok ukur manusia yang senantiasa berubah-ubah, bahkan dapat saling
bertolak belakang. Sekarang benar, nanti salah; atau sekarang terpuji lain
waktu tercela.[5]
Berbeda dengan itu, sistem politik Islam berdiri tegar tak lekang
ditelan zaman. Ini karena sistem politik Islam bukan lahir dari logika dan
kepentingan sesaat manusia, namun jalan lurus yang berasal dari Allah Swt.
untuk kemaslahatan manusia. (Lihat: QS al-An’am [6]:153).
Dalam konteks kenegaraan, sistem politik Islam dibangun di atas landasan
yang istiqamah, yakni:
1.
kedaulatan ada di tangan
syariah;
2.
kekuasaan ada di tangan
rakyat;
3.
wajib hanya memiliki satu
kepemimpinan dunia; dan
4.
hanya khalifah yang berhak
melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam berdasarkan
ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan rakyat atau antar
pelaku politik maka harus dikembalikan tolok ukurnya kepada Allah dan Rasul;
kepada al-Quran dan as-Sunnah. Inilah tolak ukur sekaligus landasan yang tetap,
tidak berubah. Ini pulalah yang menjamin keistiqamahan sistem politik Islam.
2.
Mewujudkan ketenteraman
secara kontinu.
Di antara fungsi sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap
warga negara harus terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak
akan nyaman. Ketenteraman merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah satu ajaran penting Islam
adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Sejarah menunjukkan
bagaimana saat Islam diterapkan, warga negaranya, baik Muslim maupun
non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini terwujud melalui pendekatan
multidimensi.
Pertama: sistem politik Islam
mengaitkan aspek keamanan dengan aspek ruhiah. Rasul berkali-kali menegaskan
bahwa di antara ciri Muslim yang baik adalah Muslim yang tetangganya selamat
dari lisan dan tangannya. Bahkan, siapa saja yang menyakiti kafir zimmi
diibaratkannya sebagai menyakiti beliau. Penjagaan keamanan dikaitkan dengan
pahala dan siksa. Akibatnya, muncullah dorongan takwa dalam diri individu untuk
senantiasa mewujudkan keamanan, baik bagi diri, masyarakat, maupun negara.
Kekuatan internal inilah yang mengokohkan terwujudnya keamanan. Landasan ruhiah
seperti ini tidak ditemukan pada sistem lain. Sistem selain Islam hanya
menyandarkan aspek keamanan pada kepentingan.[6]
Kedua: mengharuskan masyarakat
untuk menjaga keamanan dan bersikap keras kepada perusak keamanan. Setiap
kemungkaran yang ada, termasuk gangguan tehadap keamanan, diperintahkan untuk
dihilangkan oleh siapapun yang melihatnya; baik dengan kekuatan, lisan, ataupun
dengan hati melalui sikap penolakan. Bahkan, membiarkan kerusakan yang ada
diumpakan Nabi saw. sebagai menenggelam-kan seluruh masyarakat. Masyarakat
diibaratkan Rasul sebagai sekumpulan orang yang sedang menumpangi kapal di
lautan. Jika sebagian mereka melakukan kejahatan dengan melobangi kapal
tersebut tanpa dicegah, maka semua penumpangnya akan karam. Bahkan, mati
mempertahankan keamanan harta, kehormatan, dan nyawa dari para perusak keamanan
dipandang sebagai syahid. Hal demikian tidak dimiliki oleh sistem di luar
Islam.
Ketiga: makna kebahagiaan yang
khas. Allah Swt. telah menetapkan makna kebahagiaan adalah tercapainya ridha
Allah. Berbagai limpahan materi hanyalah kepedihan jika jauh dari ridha Allah.
Untuk apa memiliki kekuasaan jika digunakan untuk menjauhkan diri dan
masyarakat dari ridha Allah. Walhasil, mafhûm kebahagiaan demikian mendorong
setiap orang untuk mengejar ridha Allah dengan menaati-Nya. Salah satunya
adalah memberikan keamanan bagi orang lain.
Keempat: menutup pintu kriminal.
Salah satu pintu datangnya gangguan keamanan adalah tindak kriminal. Dalam
konteks ini, Islam mencegahnya dengan jitu. Allah Swt. melarang tindak kriminal
dengan motif apapun, termasuk untuk kepentingan politik. Sistem politik Islam
tidak mengenal paham machiavelis (menghalalkan segala cara). Siapapun
diharamkan mencuri, merampok, membunuh, merampok harta negara, korupsi,
mengintimidasi rakyat, dll. Islam juga mengharamkan zina dan perkosaan. Tidak
ada cerita dalam Islam yang mentoleransi menggunakan perempuan sebagai umpan
dan modal dalam transaksi ekonomi maupun bargaining politik. Hal ini berbeda
secara diametral dengan sistem politik sekular.
3.
Menciptakan hubungan
ideologis penguasa dengan rakyat.
Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem politik Islam adalah
hubungan ideologis. Kedua belah pihak saling berakad dalam baiat untuk
menerapkan syariat Islam. Penguasa bertanggung jawab dalam penegakkannya.
Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat tenaga, taat kepadanya, selama
tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan hubungan ideologis inilah penguasa
akan melakukan pengurusan (ri’âyah) terhadap umatnya melalui:
a)
penerapan sistem Islam
secara baik:
b)
selalu memperhatikan
kemajuan masyarakat di segala bidang;
c)
melindungi rakyat dari
ancaman. Nabi saw. bersabda (yang artinya): Sesungguhnya seorang imam
(pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang
kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam (HR
al-Bukhari).
Pada sisi lain, rakyat
tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka terdapat kewajiban terhadap pemimpin
dan negaranya sesuai dengan akad baiat. Karenanya, rakyat berperan untuk:
a)
melaksanakan kebijakan
penguasa yang sesuai dengan syariat demi kepentingan rakyat;
b)
menjaga kelangsungan
pemerintahan dan semua urusan secara syar’î (larangan keluar dari penguasa,
perintah memerangi bughât, dsb);
c)
memberikan masukan kepada
penguasa; mengontrol dan mengoreksi penguasa. Dengan adanya hak sekaligus
kewajiban warga negara untuk memberikan nasihat, pelurusan (tashîh), dan
koreksi terhadap penguasa (muhâsabah al-hukkâm) akan terjamin penerapan
sistem Islam secara baik di dalam negeri.
Merujuk pada hal tersebut,
hubungan rakyat dengan penguasa dalam sistem politik Islam adalah hubungan
antara sesama hamba Allah Swt. yang sama-sama menerapkan kewajibannya dalam
fungsi yang berbeda. Hubungan antara keduanya merupakan hubungan sinergis,
fokus, dan saling mengokohkan untuk penerapan syariah demi kemaslahatan rakyat.
Sungguh, pemandangan demikian amat sulit ditemukan dalam sistem politik selain
selain Islam.
4.
Mendorong kemajuan
terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan kesejahteraan hidup.
Sejarah telah membuktikan
hal ini. Kemajuan sains, teknologi, dan pemikiran merupakan keniscayaan dalam
Islam karena:
a.
Islam mendorong umat untuk
terus berpikir, merenung untuk menguatkan iman dan menambah pengetahuan tentang
makhluk. Ada 43 ayat al-Quran yang memerintahkan berpikir.
b.
Melebihkan ulama daripada
orang jahil (Lihat: QS al-Mujadilah: 11).
c.
Allah telah menundukkan alam
untuk manusia agar diambil manfaatnya. Realitas ini mengharuskan umat untuk
mengkaji alam itu. Artinya, realitas menuntut umat untuk mengembangkan sains
dan teknologi.
d.
Islam mendorong inovasi dan
penemuan. Dalam masalah jihad, misalnya, Rasulullah saw. mengembangkan
persenjataan dabâbah saat itu. Kini, berarti umat harus mengungguli sains dan
teknologi negara besar. Begitu juga ijtihad; harus terus dikembangkan. Betapa
tidak, banyak sekali perkara baru bermunculan, padahal dulu belum dibahas oleh
para ulama.
Bukan hanya itu, kemajuan ekonomi pun akan tercapai karena:
a.
ada konsep kepemilikan dan
pengelolaannya secara jelas;
b.
kewajiban ri’âyah
mengharuskan adanya perhatian secara terus menerus atas urusan dan kemajuan;
c.
perlindungan terhadap milik
pribadi dan pemanfaatannya dalam batas syariat;
d.
adanya pengumpulan harta
untuk kaum miskin dan lemah. Konsekuensi dari hal ini bukanlah sebatas dana
menetes ke bawah (tricle down effect), melainkan menggelontor ke segala
penjuru. Hal ini berbeda dengan sistem Kapitalisme yang membiarkan manusia
menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus)[7]
C.
Kekurangan sistem khalifah
1.
Keberagaman agama
Indonesia terkenal dengan berbagai suku, ras dan agama. Indonesia dalam
sistem keagamaan memeluk lima agama, yaitu, Islam, Katolik, protestan, hindu
dan budha. Apabila sistem pemerintahan kekhalifahan diterapkan di indonesia,
keberlangsungan dalam menetapkan sistem hukum akan kacau balau. Contohnya saja
masalah yang terjadi pada negera Syiria dan Iran.
2.
Ideologi khilafah berbeda
dengan ideologi indonesia
Apabila sistem khilafah diterapkan di indonesia maka Ideologi bangsa Indonesia yang telah menjadi
empat pilar akan sia-sia kita pertahankan.
3.
Sistem hukum khilafah tidak
mendukung
Khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber
dari Islam berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara
dengan rakyat atau antar pelaku politik maka harus dikembalikan tolok ukurnya
kepada Allah dan Rasul; kepada al-Quran dan as-Sunnah. Inilah tolak ukur
sekaligus landasan yang tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang menjamin
keistiqamahan sistem politik Islam. Sementara kalau sistem pemerintahan
indonesia adalah demokrasi. Dalam sistem demokrasi yang menjadi landasan
hukumnya adalah UUD 1945. Dalam hal ini segala peraturan tentang kenegaraan
sudah ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan
atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua
rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).
Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam
bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian
baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai
dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini
dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.
Kelebihan sistem khilafah
1. Istiqamah.
2. Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.
3. Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
4. Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan
kesejahteraan hidup.
Kekurangan sistem khalifah
1.
Keberagaman agama
2.
Ideologi khilafah berbeda
dengan ideologi indonesia
3.
Sistem hukum khilafah tidak
mendukung
B.
Saran
Makalah yang
sudah penulis rintis ini mungkin masih banyak kekurangan referensi, untuk itu
segala kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca agar makalah ini
lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Enayat Hamid, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan
Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung:
Pustaka, 1998
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet.
ke-5 Jakarta: UI Press, 1985
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. Qawaid Nizham
Al-Hukm fi Al-Islam. Kuwait : Darul Buhuts Al-Ilmiyah. 1980
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus
Al-Munawwir. Cet. Ke-1. Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak,1984
http://hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/
[1] Hamid Enayat, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan
Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, (Bandung:
Pustaka, 1998), hlm. 8.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet.
ke-5 (Jakarta: UI Press, 1985), I: 95.
[3] Al-Khalidi, Mahmud
Abdul Majid. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. ( Kuwait : Darul
Buhuts Al-Ilmiyah. 1980) h. 227
[4] Munawwir, Ahmad Warson.. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. ( Yogyakarta
: PP. Al-Munawwir Krapyak,1984 ) h. 234
[5] Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid, op.cit. h. 238
[6]
Ibid, h. 229-230
[7] http://hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/