Minggu, 17 Januari 2016

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH

BAB I
PENDAHULUAN

Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah  Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya.  Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.
Mengenai keunggulan dan kekurangan  dalam sistem kekhalifahan ini, akan dibahas pada makalah yang sudah saya rintis ini. Pada makalah ini akan dijelaskan tentang khilafah dan bagaimana eksistensi khilafah apabila diterapkan diindonesia .



BAB II
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM KHILAFAH

A.    Pengertian Khilafah
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[1] Oleh sebab itu, sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem hal ini ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.[2]
Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul Saw. Dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul Muslimin
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) . Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri
Para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (almazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah.[3]

Khalifah dan khilafah itu hanya terwujud bila :
1.      Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam sedunia. Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan jalan kudeta, sistem demokrasi atau kerajaan (warisan).
2.      Adanya wilayah yang menjadi tanah air (wathan) yang dikuasai penuh oleh umat Islam.
3.      Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua undang-undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang bersumberkan dan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. seperti undang-undang pidana, perdata, ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan seterusnya.
4.      Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk pada Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam).
5.      Sistem Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi atau tanah air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula berdasarkan kepentingan pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan serta tegaknya kalimat Allah (Islam) di atas bumi. Oleh sebab itu, Imam Al-Mawardi menyebutkan dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah” bahwa objek Imamah (kepemimpinan umat Islam) itu ialah untuk meneruskan Khilafah Nubuwwah (kepemimpinan Nabi Saw.) dalam menjaga agama (Islam) dan mengatur semua urusan duniawi umat Islam.[4]

B.     Kelebihan Sistem Khilafah
Sistem politik Islam merupakan sistem politik yang khas dan diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Hal ini terkait dengan Islam itu sendiri. “Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya (Al Islâmu ya’lu-wa lâ yu’la ‘alaihi),” kata Nabi.
Berbicara tentang sistem politik berarti berbicara tentang proses, struktur, dan fungsi. Proses adalah pola-pola yang mengatur hubungan antar manusia satu sama lain. Struktur mencakup lembaga-lembaga formal dan informal seperti majelis umat, partai politik, khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun fungsi dalam sistem politik menyangkut pembuatan berbagai keputusan kebijakan yang mengikat alokasi nilai. Keputusan kebijakan ini diarahkan pada tercapainya kepentingan masyarakat. Proses, struktur, dan fungsi dalam sistem politik Islam semuanya berdasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari wahyu. Karena itu, sistem politik Islam, termasuk konsep kenegaraannya, menjadi sistem yang unggul karena bersumber dari Allah Swt., Zat Yang Mahaagung.
Di antara keunggulan sistem pemerintahan Islam  (khilafah) adalah:
1.      Istiqamah.
Sistem politik Islam memiliki karakter istiqamah; artinya bersifat langgeng, kontinu, dan lestari di jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi, misalnya, sistem politik bergantung pada kehendak manusia. Perubahan nilai dan inkonsistensi pun terjadi. Hal yang sama bisa berlaku untuk orang lain, tetapi tidak untuk negara tertentu. Misalnya, Iran tidak boleh memiliki nuklir, tetapi AS dan Israel tidak mengapa; setiap negara tidak boleh mencampuri urusan negara lain, kecuali AS dan sekutunya yang dapat menerapkan pre emptive. Sistem seperti ini tidaklah istiqamah. Betapa tidak; semuanya bergantung pada kehendak dan tolok ukur manusia yang senantiasa berubah-ubah, bahkan dapat saling bertolak belakang. Sekarang benar, nanti salah; atau sekarang terpuji lain waktu tercela.[5]
Berbeda dengan itu, sistem politik Islam berdiri tegar tak lekang ditelan zaman. Ini karena sistem politik Islam bukan lahir dari logika dan kepentingan sesaat manusia, namun jalan lurus yang berasal dari Allah Swt. untuk kemaslahatan manusia. (Lihat: QS al-An’am [6]:153).
Dalam konteks kenegaraan, sistem politik Islam dibangun di atas landasan yang istiqamah, yakni:
1.      kedaulatan ada di tangan syariah;
2.      kekuasaan ada di tangan rakyat;
3.      wajib hanya memiliki satu kepemimpinan dunia; dan
4.      hanya khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan rakyat atau antar pelaku politik maka harus dikembalikan tolok ukurnya kepada Allah dan Rasul; kepada al-Quran dan as-Sunnah. Inilah tolak ukur sekaligus landasan yang tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang menjamin keistiqamahan sistem politik Islam.

2.      Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.
Di antara fungsi sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap warga negara harus terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak akan nyaman. Ketenteraman merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah satu ajaran penting Islam adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Sejarah menunjukkan bagaimana saat Islam diterapkan, warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini terwujud melalui pendekatan multidimensi.
Pertama: sistem politik Islam mengaitkan aspek keamanan dengan aspek ruhiah. Rasul berkali-kali menegaskan bahwa di antara ciri Muslim yang baik adalah Muslim yang tetangganya selamat dari lisan dan tangannya. Bahkan, siapa saja yang menyakiti kafir zimmi diibaratkannya sebagai menyakiti beliau. Penjagaan keamanan dikaitkan dengan pahala dan siksa. Akibatnya, muncullah dorongan takwa dalam diri individu untuk senantiasa mewujudkan keamanan, baik bagi diri, masyarakat, maupun negara. Kekuatan internal inilah yang mengokohkan terwujudnya keamanan. Landasan ruhiah seperti ini tidak ditemukan pada sistem lain. Sistem selain Islam hanya menyandarkan aspek keamanan pada kepentingan.[6]
Kedua: mengharuskan masyarakat untuk menjaga keamanan dan bersikap keras kepada perusak keamanan. Setiap kemungkaran yang ada, termasuk gangguan tehadap keamanan, diperintahkan untuk dihilangkan oleh siapapun yang melihatnya; baik dengan kekuatan, lisan, ataupun dengan hati melalui sikap penolakan. Bahkan, membiarkan kerusakan yang ada diumpakan Nabi saw. sebagai menenggelam-kan seluruh masyarakat. Masyarakat diibaratkan Rasul sebagai sekumpulan orang yang sedang menumpangi kapal di lautan. Jika sebagian mereka melakukan kejahatan dengan melobangi kapal tersebut tanpa dicegah, maka semua penumpangnya akan karam. Bahkan, mati mempertahankan keamanan harta, kehormatan, dan nyawa dari para perusak keamanan dipandang sebagai syahid. Hal demikian tidak dimiliki oleh sistem di luar Islam.
Ketiga: makna kebahagiaan yang khas. Allah Swt. telah menetapkan makna kebahagiaan adalah tercapainya ridha Allah. Berbagai limpahan materi hanyalah kepedihan jika jauh dari ridha Allah. Untuk apa memiliki kekuasaan jika digunakan untuk menjauhkan diri dan masyarakat dari ridha Allah. Walhasil, mafhûm kebahagiaan demikian mendorong setiap orang untuk mengejar ridha Allah dengan menaati-Nya. Salah satunya adalah memberikan keamanan bagi orang lain.
Keempat: menutup pintu kriminal. Salah satu pintu datangnya gangguan keamanan adalah tindak kriminal. Dalam konteks ini, Islam mencegahnya dengan jitu. Allah Swt. melarang tindak kriminal dengan motif apapun, termasuk untuk kepentingan politik. Sistem politik Islam tidak mengenal paham machiavelis (menghalalkan segala cara). Siapapun diharamkan mencuri, merampok, membunuh, merampok harta negara, korupsi, mengintimidasi rakyat, dll. Islam juga mengharamkan zina dan perkosaan. Tidak ada cerita dalam Islam yang mentoleransi menggunakan perempuan sebagai umpan dan modal dalam transaksi ekonomi maupun bargaining politik. Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem politik sekular.
3.      Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem politik Islam adalah hubungan ideologis. Kedua belah pihak saling berakad dalam baiat untuk menerapkan syariat Islam. Penguasa bertanggung jawab dalam penegakkannya. Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat tenaga, taat kepadanya, selama tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan hubungan ideologis inilah penguasa akan melakukan pengurusan (ri’âyah) terhadap umatnya melalui:
a)      penerapan sistem Islam secara baik:
b)      selalu memperhatikan kemajuan masyarakat di segala bidang;
c)      melindungi rakyat dari ancaman. Nabi saw. bersabda (yang artinya): Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam (HR al-Bukhari).
Pada sisi lain, rakyat tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka terdapat kewajiban terhadap pemimpin dan negaranya sesuai dengan akad baiat. Karenanya, rakyat berperan untuk:
a)      melaksanakan kebijakan penguasa yang sesuai dengan syariat demi kepentingan rakyat;
b)      menjaga kelangsungan pemerintahan dan semua urusan secara syar’î (larangan keluar dari penguasa, perintah memerangi bughât, dsb);
c)      memberikan masukan kepada penguasa; mengontrol dan mengoreksi penguasa. Dengan adanya hak sekaligus kewajiban warga negara untuk memberikan nasihat, pelurusan (tashîh), dan koreksi terhadap penguasa (muhâsabah al-hukkâm) akan terjamin penerapan sistem Islam secara baik di dalam negeri.
Merujuk pada hal tersebut, hubungan rakyat dengan penguasa dalam sistem politik Islam adalah hubungan antara sesama hamba Allah Swt. yang sama-sama menerapkan kewajibannya dalam fungsi yang berbeda. Hubungan antara keduanya merupakan hubungan sinergis, fokus, dan saling mengokohkan untuk penerapan syariah demi kemaslahatan rakyat. Sungguh, pemandangan demikian amat sulit ditemukan dalam sistem politik selain selain Islam.
4.      Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan kesejahteraan hidup.
Sejarah telah membuktikan hal ini. Kemajuan sains, teknologi, dan pemikiran merupakan keniscayaan dalam Islam karena:
a.       Islam mendorong umat untuk terus berpikir, merenung untuk menguatkan iman dan menambah pengetahuan tentang makhluk. Ada 43 ayat al-Quran yang memerintahkan berpikir.
b.      Melebihkan ulama daripada orang jahil (Lihat: QS al-Mujadilah: 11).
c.       Allah telah menundukkan alam untuk manusia agar diambil manfaatnya. Realitas ini mengharuskan umat untuk mengkaji alam itu. Artinya, realitas menuntut umat untuk mengembangkan sains dan teknologi.
d.      Islam mendorong inovasi dan penemuan. Dalam masalah jihad, misalnya, Rasulullah saw. mengembangkan persenjataan dabâbah saat itu. Kini, berarti umat harus mengungguli sains dan teknologi negara besar. Begitu juga ijtihad; harus terus dikembangkan. Betapa tidak, banyak sekali perkara baru bermunculan, padahal dulu belum dibahas oleh para ulama.
Bukan hanya itu, kemajuan ekonomi pun akan tercapai karena:
a.       ada konsep kepemilikan dan pengelolaannya secara jelas;
b.      kewajiban ri’âyah mengharuskan adanya perhatian secara terus menerus atas urusan dan kemajuan;
c.       perlindungan terhadap milik pribadi dan pemanfaatannya dalam batas syariat;
d.      adanya pengumpulan harta untuk kaum miskin dan lemah. Konsekuensi dari hal ini bukanlah sebatas dana menetes ke bawah (tricle down effect), melainkan menggelontor ke segala penjuru. Hal ini berbeda dengan sistem Kapitalisme yang membiarkan manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus)[7]
C.    Kekurangan sistem khalifah
1.      Keberagaman agama
Indonesia terkenal dengan berbagai suku, ras dan agama. Indonesia dalam sistem keagamaan memeluk lima agama, yaitu, Islam, Katolik, protestan, hindu dan budha. Apabila sistem pemerintahan kekhalifahan diterapkan di indonesia, keberlangsungan dalam menetapkan sistem hukum akan kacau balau. Contohnya saja masalah yang terjadi pada negera Syiria dan Iran.
2.      Ideologi khilafah berbeda dengan ideologi indonesia
Apabila sistem khilafah diterapkan di indonesia maka Ideologi bangsa Indonesia yang telah menjadi empat pilar akan sia-sia kita pertahankan.
3.      Sistem hukum khilafah tidak mendukung 
Khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan rakyat atau antar pelaku politik maka harus dikembalikan tolok ukurnya kepada Allah dan Rasul; kepada al-Quran dan as-Sunnah. Inilah tolak ukur sekaligus landasan yang tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang menjamin keistiqamahan sistem politik Islam. Sementara kalau sistem pemerintahan indonesia adalah demokrasi. Dalam sistem demokrasi yang menjadi landasan hukumnya adalah UUD 1945. Dalam hal ini segala peraturan tentang kenegaraan sudah ditetapkan.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah). Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.
Kelebihan sistem khilafah
1.      Istiqamah.
2.      Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.
3.      Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
4.      Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan kesejahteraan hidup.
Kekurangan sistem khalifah
1.      Keberagaman agama
2.      Ideologi khilafah berbeda dengan ideologi indonesia
3.      Sistem hukum khilafah tidak mendukung 

B.     Saran
Makalah yang sudah penulis rintis ini mungkin masih banyak kekurangan referensi, untuk itu segala kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca agar makalah ini lebih sempurna.




DAFTAR PUSTAKA



Enayat Hamid, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung: Pustaka, 1998

Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 Jakarta: UI Press, 1985

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Kuwait : Darul Buhuts Al-Ilmiyah. 1980

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak,1984

http://hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/





[1] Hamid Enayat, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 8.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: UI Press, 1985), I: 95.
[3] Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. ( Kuwait : Darul Buhuts Al-Ilmiyah. 1980) h. 227
[4] Munawwir, Ahmad Warson.. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. ( Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak,1984 ) h. 234
[5] Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid, op.cit. h. 238
[6] Ibid, h. 229-230
[7] http://hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/